Sunday, October 16, 2005

Sebuah kisah nyata seperti yang di utarakan oleh Drs. Umar Ali Yahya danSyarifuddin. Ukhuwah intinya 'MEMBERI' Memberi tanpa mengharapkanbalasan Dan mengharap balasan hanya dari Allah SWTUkhuwah dan keimanan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan,maka dari itu jika salah satu tidak ada maka yang lainnya pun sirna. Tingkatukhuwah terendah ialah bersih hati dan berbaik sangka pada saudaranyasedangkan tingkat ukhuwah tertinggi ialah mendahulukan saudaranyadaripada dirinya [Drs. Umar Ali Yahya].Alkisah disebuah Madrasah Tsanawiyah di daerah Bangka Jakarta Selatan,berkumpul sekelompok anak-anak sekolah yang sedang istirahat mengerumuniabang penjual rujak, rupanya siang itu anak-anak sedang membeli rujak.Diantara sekumpulan anak-anak tersebut terdapatlah seorang anak bernamaUbaidurrahman (Ubay) yang saat itu ingin sekali membeli rujak namunuangnya ketinggalan di kelas. Keinginan Ubay itu ditangkap oleh temannya Hamadtanpa terlewat sedikitpun. Saat itu Hamad pun sebetulnya ingin membelirujak juga, namun uangnya tinggal seribu rupiah saja, dan itupun untukongkos pulang.'Pake uangku saja dulu Ubay,' seru Hamad pada Ubay yang terlihat sangatingin sekali membeli rujak. 'Terima kasih Hamad, nanti aku ganti uangnyadi kelas ya,' jawab Ubay dengan riangnya. Begitulah, Hamad meminjamkan uangnya yang hanya tinggal seribu itu padaUbay untuk membeli rujak dengan harapan nanti akan dibayar di kelas.Ketika sampai di kelas ternyata Ubay tidak membayar hutangnya dengan alasanuangnya ternyata sudah terpakai untuk yang lain.'Masya Allah, Hamad aku lupa uangnya tadi sudah dipakai, besok sajaya...'Hamad menatap Ubay sejenak dan kemudian mengangguk dengan senyumkhasnya.Dalam keadaan tidak ada uang sepersen pun, bahkan untuk ongkos pulangsekalipun, Hamad masih tersenyum dan menjalani sisa harinya dengankegembiraan.Bel sekolah telah berbunyi, menandakan waktunya untuk pulang. Tidakterkecuali dengan Hamad, ia pun pulang meskipun tidak seperti hari-harisebelumnya. Kali ini dia terlihat berjalan kaki, ya.. berjalan kaki darisekolahnya di Bangka Jakarta Selatan sampai rumahnya di JatibeningBekasi, yang biasanya memerlukan waktu 1 jam jika ditempuh dengan kendaraanbermotor.----------'Hamad kok belum pulang ya Bu? Aku mulai khawatir, coba teleponteman-temannya barangkali memang sedang ada acara di sekolahnya,' pintaUst. Zufar pada istrinya. Ust. Zufar merupakan ayah dari Hamad. Beliauialah sosok yang ramah, nama lengkapnya ialah Ust. Zufar Bawazier, Lc,dosen LIPIA dan juga pengurus sebuah Partai Islam di Indonesia.Saya sempat mengenalnya ketika beliau mengisi sebuah seminar di Bandungdimana saya terlibat sebagai panitia. Saat itu, beliau kami sediakantiket pulang dengan Kereta Api untuk jadwal kepergian jam 13.00.Betapa kagetnya saya ketika teman saya memberitahukan bahwa Ust. Zufarsedang berdiri menunggu angkutan umum yang saya yakin beliau tidak hafalrutenya, untuk menuju stasiun. Lebih parah lagi waktu telah menunjukanpukul 12.50, yang artinya hanya 10 menit lagi kereta akan segera pergi.Saya segera mengambil motor untuk mengantarnya menuju stasiun, sayatidak habis fikir mengapa Ust. Zufar tidak memberi tahu panitia kalaukeadaannya seperti ini, atau memang panitianya yang tidak memperhatikan, pikirku.Aku susuri jalanan kota Bandung dengan kecepatan tinggi, bahkan sempatmelanggar beberapa rambu lalu lintas, aku tak peduli, saat itu fikirankuhanya mengantar Ust. Zufar agar tidak ketinggalan kereta menuju Jakarta.Dan memang akhirnya Ust. Zufar bisa mendapatkan keretanya, walaupunharus dengan berlari setelah sebelumnya masih sempat menyalamiku sambiltersenyum dan mengucapkan terima kasih padaku. Itulah kenangan terakhir dansatu-satunya pertemuanku dengan Ust. Zufar.-----------'Kriiing...' telepon di rumah Pak Umar berdering. Telepon itu ternyatadari Ust. Zufar yang kemudian memberitahukan kepada Pak Umar bahwa anaknyasaat itu pulang malam sekali. Pak Umar adalah kepala sekolah MadrasahTsanawiyah dimana Hamad bersekolah. Lalu Ust. Zufar pun menjelaskan penyebabanaknya hingga pulang selarut itu kepada Pak Umar.Esok harinya, Pak Umar memanggil Hamad dan Ubay ke Kantor. Tidakditemukan wajah kesal atau kecut dari Hamad, suatu pancaran ketenangan jiwa dariseorang anak yang masih bersih hatinya.Lalu Pak Umar berkata pada Ubay, 'Lihatlah, sepatu temanmu rusak karenakamu menyia-nyiakan kebaikannya...' Pak Umar terkenal akan kebijaksanaannya, beliau digelari 'Pembina Sejati' oleh teman saya di Bandung yang pernah merasakan sentuhannya pula. Saya beruntung pernah menjadi binaanya selama setahun. Waktu yang cukup singkat untuk sebuahpembinaan yang bertajuk Ta'lim Rutin Kader Partai Keadilan Sejahtera.Namun waktu yang singkat itu telah cukup baginya untuk meniup kuncup dalamdiri ini sehingga mekar menjadi bunga.Sepatu tua Hamad terlihat rusak, yang memang sebelumnya sudah lusuh.Ubay menangkap semua itu tanpa terlewat sedikitpun. 'Maafkan aku ya Hamad,ini pakai saja sepatuku, aku punya dua sepatu kok di rumah.'Begitulah kisah mereka berdua, ibarat sebuah parade ukhuwah merekabegitu mempesona setiap orang yang melihatnya.


| Henny blogged at 7:53 PM


BlogItemBacklinksEnabled> links to this post
Comments: Post a Comment